Kalau ada satu hal yang bisa kubanggakan dalam hidupku, aku akan bilang bahwa hidupku dipenuhi mimpi indah. Bukan hanya itu, aku tidak hanya bermimpi. Aku telah membuat mimpi terbesarku menjadi nyata.
Aku telah merasakan matahari.
Sudah belasan tahun aku hidup dalam gelap, sendirian dalam kamar berdinding polos tanpa jendela. Aku sendirian. Tiga kali sehari ada yang datang membawakan makanan. Orang-orang berbaju putih datang ketika nyeri mulai mengacak-acak tubuhku. Tapi selain itu, aku hanya sendiri di ruangan polos itu.
Kakakku hanya datang seminggu sekali, tapi ia datang dengan senyuman dan lukisan-lukisan. Terkadang ia juga melukis di sampingku. Lukisan langit yang tak pernah kulihat, burung-burung, kupu-kupu… Lukisan itulah yang menjadi mimpi-mimpiku.
Lalu beberapa hari yang lalu Kakak membawaku melihat langit dan matahari. Terang. Indah.
Seluruh tubuhku perih luar biasa. Lebih sakit dibanding sakit yang sudah biasa kurasakan. Tapi tetap saja pemandangan yang kulihat benar-benar indah.
Setelah itu aku tak bisa melihat dinding ruangan yang polos lagi. Aku tak bisa melihat senyuman kakak lagi. Tapi aku tak pernah melupakan matahari, langit, dan burung-burung. Aku hanya bisa melihat itu semua, melihat apa yang ada dalam lukisan Kakak.
Tapi kali ini, aku tidak hanya melihat gambar-gambar itu dalam kanvas. Kali ini, aku ada di dalamnya.
Kalau ditanya tentang perasaanku sekarang, aku akan bilang bahwa aku bahagia.
***
Seorang dokter berusia paruh baya, beberapa perawat, dan seorang pria muda berjaket lusuh yang belepotan cat berdiri mengelilingi ranjang rumah sakit. Kain putih menutupi seluruh tubuh orang yang terbaring di ranjang itu. Hanya ada kabel-kabel yang terhubung pada kardiograf yang layarnya menunjukkan garis lurus.
“Sebenarnya jika Anda tidak bersikeras membawanya keluar beberapa hari yang lalu, Porphyriayang diderita Nona Catherine tidak akan mengganas secepat ini…”
Sementara si dokter dan para perawat-perawat tertunduk lesu, si pemuda hanya menggeleng sambil tersenyum. Dia mengeluarkan secarik kertas yang terlipat di sakunya dan menunjukkannya pada si dokter diiringi dengan gerakan sebelah tangannya yang bebas—mungkin bahasa isyarat. Melihat kertas itu si dokter pun mengangguk seolah mengerti sesuatu.
Setelah itu, si pemuda meletakkan kertas tadi di atas ranjang. Sketsa seorang gadis yang tersenyum ceria terpampang di atasnya. Di sudut kiri bawah, tampak coretan yang membentuk tulisan yang hampir tak terbaca.
‘Adikku, pertama kali melihat sinar matahari.’
-- END --
0 Response to "Mimpi Matahari"
Posting Komentar