Pecahan Kaca

Image result for pecahan kaca png


Ketika tak ada lagi alasan untuk aku bertahan lebih lama.
“Maaf, kami tidak bisa menyelamatkannya.” Duniaku runtuh seketika.
***
Jernih sungai di bawah sana memantulkan sinar bulan purnama, layaknya cermin raksasa. Suara air tidak beriak terdengar tenang, bak hati manusia yang telah mengeras, membatu, dan membeku. Pasti dingin. Apa air sedingin itu bisa mematikan rasa? Aku harap ‘iya’ adalah jawabannya.
Kehilangan yang sama lagi-lagi terulang. Sakit yang sama lagi-lagi datang. Andai saat itu dia tidak memberikan perlindungan dan menjadi alasan. Alasan untuk aku bertahan lebih lama.
Ingatanku melanglang kembali kedua tahun silam. Semua berawal dari pertemuan di halte tua.
“Menunggu hujan reda?” tanya seseorang yang tiba-tiba mendudukkan dirinya di sampingku. Terpikir olehku dia seorang penculik tua yang menjual anak untuk dijadikan budak jalanan, tapi disaat seperti ini mana kupeduli.
“Bukan,” jawabku tak acuh.
“Lalu?”
“Jangan ikut campur urusan saya!” gertakku tertahan. Mulutku mengatup, tanganku terkepal, dan nafasku memburu menahan amarah yang sedari tadi ingin diluapkan.
Dia menoleh, sedikit memperlihatkan wajahnya samar. Dugaanku salah, walau belum sepenuhnya salah. Dia tidak tua. “Ini bukan akhir hidupmu. Semua akhir itu bahagia. Kalau akhirmu tidak bahagia berarti itu bukan akhir,” katanya.
“Cih, persetan dengan bahagia. Kita hidup dalam realita bukan kisah fiksi dalam cerita. Di dunia, tidak ada yang namanya akhir bahagia.” Aku mendengus, lalu tersenyum miris. “Pada akhirnya, semua akan mati dan terpisah.”
“Kamu orang paling menyedihkan yang pernah saya kenal.” Dia beranjak dari tempatnya. Bermodalkan mantel tebal, ia berjalan membelah hujan lebat, lalu menghilang di tikungan jalan.
Menyedihkan? Benar. Hidupku benar-benar menyedihkan. Remaja enam belas tahun mana yang tidak menyedihkan ditinggal kedua orangtuanya? Mereka pergi tanpa meninggalkan apapun, bahkan tempat tinggal. Semua direnggut oleh seorang pengkhianat. Bagaimana caranya keluar dari masalah ini? Pilihannya cuma dua: mati atau jadi gelandangan.
“Pakai ini.” Suara itu lagi. Aku mendongak, menemukan ia yang menyodorkan payung tepat di depan hidungku. Aku masih tidak bisa melihatnya dengan jelas karena lampu jalan yang redup adalah satu-satunya penerangan yang ada. “Kita bisa tinggal bersama.”
“Tidak!” tolakku tegas. “Saya masih punya harga diri untuk tinggal dengan pria yang tidak dikenal.”
“Sudah seperti ini masih memikirkan harga diri? Buang harga dirimu di sini!”
Aku bergeming mendengar perintahnya, namun tak lantas goyah juga dengan tawaran menginap itu. Setidaknya menggantung hidup pada pria asing untuk malam ini saja bukan masalah. “Apa yang akan dipikirkan orang-orang?”
“Tidak akan ada yang peduli dengan orang seperti kita,” ucapnya lembut. Ia menyentuh daguku, membuat kepalaku lebih mendongak untuk melihat ketulusan yang ada di matanya. “Saya Raka.”
Andai saat itu dia tidak datang dan memberi tumpangan. Mungkin aku akan berakhir sebagai gelandangan atau sedang tertawa bersama Mama dan Papa di surga. Tidak. Di surga, tidak ada orang yang mati karena bunuh diri. Semua tahu itu.
“Aku seorang pecandu obat-obatan. Aku berusaha berhenti. Tapi rasanya sakit.” Raka bercerita di malam kamis bulan September. Rencanaku untuk tinggal-satu-malam-saja itu gagal. Dia terlalu keras kepala untuk membiarkanku hidup sendirian di luar dan aku terlalu lemah untuk bisa hidup sendiri tanpa bantuan.
“Kenapa masih di sini?” tanyaku pada Raka yang bersender di pundakku sambil menatap layar televisi yang menayangkan acara komedi-romantis khas remaja.
“Maksudmu, kenapa bukan di panti rehab?” tanyanya. Ia menghembuskan nafas sejenak. “Kamu kenal Satria Hendrawan?”
“Koruptor yang tahun lalu muncul di semua stasiun tv itu ‘kan?”
“Hm. Dia ayahku.” Ia memperhatikan air mukaku karena mendengar pernyataannya. Aku terkejut, tentu saja, namun cepat kukendalikan perasaan itu. Jeda yang cukup lama sampai dia berkata, “dia tidak bisa lagi menanggung malu karena anaknya yang terjebak dalam lubang hitam setelah kasus yang menyeretnya.”
“Jadi … dia lebih milih anaknya terlantar?” tanyaku hati-hati.
“Setidaknya dengan begitu tidak akan ada yang tahu kalau aku anaknya. Sebaliknya, kalau aku ada di sana, cepat atau lambat mereka akan tahu latar belakangku.” Ia tertawa pelan saat mengucapkan itu. Tawa yang terdengar memaksa di telingaku.
Satu yang kutahu adalah hidupnya lebih mengenaskan dariku. Terlebih ketika dia sedang menginginkan barang haram itu.
Tok tok tok.
“Kamu di dalam?” tanyaku saat jarum pendek jam dinding menunjuk angka dua belas. Ketukan kedua sampai kelima tidak dihiraukan olehnya. Ia masih saja bergeming di kamar, tapi aku tahu ada sesuatu yang terjadi di sana.
Dan pada ketukan keenam. “Pergi!”
“Kenapa? Ada apa?” tanyaku setengah berteriak karena panik. Berkali-kali aku memutar kenop pintu, tapi sia-sia saja, kamar Raka terkunci dari dalam. Hanya terpikir satu cara untuk bisa masuk.
“Jangan masuk!” Seruannya sama sekali tidak kugubris. Aku mendobrak pintu kamar Raka dengan beberapa kali tendangan. Susah payah sampai akhirnya pintu menjeblak terbuka. Di dalam, aku menemukannya terduduk memeluk lutut di sudut kamar. Tubuhnya bergetar dan berkeringat. Wajahnya dia sembunyikan di balik lutut.
Perlahan aku mendekat ke arahnya, lalu berlutut di depannya sembari bertanya, “ada apa?” Ia tidak menjawab. Kembali aku mengulang pertanyaan yang sama.
“Sakit,” jawabnya pelan.
“Yang mana yang sakit?”
“Semua ... hhh … semuanya ... sakit.” Dia semakin mempererat pelukan pada lututnya. Tangannya terkepal, membuat buku-buku jarinya memutih dan telapak tangannya terluka karena kuku yang menancap di sana. Tak lama kemudian ia mendongak. Dengan wajah pucat yang menyiratkan kesakitan itu ia menatapku dan berkata, “can I … kiss you?”
Aku terdiam. Tanpa persetujuan bibirnya menempel pada milikku. Yang terjadi setelah itu, dia merenggut milikku yang paling berharga.
Dua tahun berlalu. Bukan waktu yang singkat untuk kami berusaha bangkit dari keterpurukan. Dia perlahan sembuh dari ketergantungannya. Sesekali mendapat panggilan majalah, menyalurkan hobi yang dulu sempat tertunda, fotografi.
Sedangkan aku, aku tidak berguna. Yang aku lakukan hanya merepotkannya. Asmaku sering kambuh tiba-tiba. Awalnya aku kira hanya sesak nafas biasa. Lama-lama sakit itu semakin parah.
“Tunggu di sini! Aku akan beli obat dan makanan.”
“Maaf,” ucapku yang terbaring lemah di ranjang karena sakit itu yang kambuh tiba-tiba. Tubuhku lemas, nafasku tersenggal, kepalaku berputar, dan aku tidak berdaya.
“Berhentilah minta maaf.” Lalu, aku dibuat bungkam olehnya.
Itu kalimat terakhir yang ia ucapkan padaku dan … ciuman terakhirnya karena sampai tengah malam dia tak kunjung datang. ‘Tunggu di sini!’ Perintah itu yang menahanku untuk tetap tinggal.
Aku bangkit, menahan sesak yang semakin menjadi. Malam itu, udara di luar menembus kulit dan sampai ke tulang. Aku mengeratkan jaketku, menjaga suhu tubuh agar tetap hangat. Menyusuri jalan setapak menuju apotek terdekat.
Sampai sosok yang dicari terlihat. Tidak sadarkan diri, tergeletak lemah di gang sempit dekat persimpangan jalan. Bercak darah menghiasi kaosnya. Jaket yang tadi ia kenakan sudah tak berbentuk, robek di sana sini.
Tidak. Aku mohon. Jangan untuk yang kedua kalinya,’ batinku berteriak.
Kehilangan yang sama lagi-lagi terulang. Sakit yang sama lagi-lagi datang. Andai saat itu dia tidak memberikan perlindungan dan menjadi alasan. Alasan untuk aku bertahan lebih lama.
Aku mengeratkan pegangan pada pembatas jembatan. Membiarkan dinginnya menyapa telapak tangan. Tapi, semua itu tidak berarti apa-apa. Bahkan, sesak itu menghilang. Untuk yang kesekian kali aku menunduk, aliran air di bawahku masih tenang seperti sebelumnya. Tidak menunjukkan adanya kehidupan di dalam sana.
Aku memejamkan mata erat. Sedetik berlalu, aku bebas, aku lepas, tubuhku melayang. Sukmaku bersiap lepas dari raga, dan semuanya terasa ringan. Tidak ada lagi sendirian. Tidak ada lagi penderitaan. Sirna, tanpa bekas. Selaras dengan tubuh ini yang hancur bak pecahan kaca.
== END ==

0 Response to "Pecahan Kaca"

Posting Komentar