Siapa yang tidak mengenalmu? Kau wanita cantik, pintar dan baik, gabungan sebuah sifat yang sangat jarang ditemukan. Tapi lucunya, setiap kali kau berpacaran, paling lama hanya sekitar tiga bulan. Nampaknya kau lebih suka bermalam minggu dengan buku pelajaran dibandingkan pria kaya raya nan tampan.
Kita bersahabat dari kecil dulu, terkadang bersaing untuk menjadi nomor satu di kelas. Tapi tidak pernah ada sakit hati atau dendam diantara kita bila kalah. Aku agak tampan, namun di sekolah ini aku punya banyak saingan, jadi rasanya agak sulit untuk mengandalkan wajah semata bila ingin medapatkan dirimu.
Waktu kecil dulu, aku tidak begitu paham kenapa aku menyukaimu. Kau memang cantik, tapi rasanya waktu aku kecil, semua teman wanitaku aku anggap cantik. Namun setelah kita beranjak dewasa, aku mengerti sekarang. Senyummu yang indah, lesung pipi yang muncul disaat kau memamerkan deretan gigi putih itu,rambutmu, dan yang terpenting, matamu. Begitu jernih dan indah, tetap sama seperti waktu kau kecil dulu.
Setiap kali kau jadian atau putus dengan seseorang, aku selalu berada di sana. Menjadi sandaran bagimu. Ingin rasanya aku berteriak bahwa aku mencintaimu, dan hanya akulah yang pantas untuk menjadi pendampingmu. Namun aku menahannya, sesuatu mengatakan, kalau sekarang bukan waktu yang tepat.
Dari SD kita satu sekolah, SMP kita tidak pernah satu kelas, SMA, hanya saat kelas satu saja kita berbagi kelas. Sebab ditingkat selanjutnya kita mengambil jurusan yang berbeda. Namun hal ini tidak pernah menghentikan kita untuk berjumpa. Sayangnya ketika sudah waktunya kita kuliah, kita harus berpisah. Bukan hanya fakultas, bahkan negara. Kau mendapatkan beasiswa ke negeri Sakura.
Masih teringat dengan jelas, malam perpisahan waktu itu. Kau menangis sendirian di halaman belakang sekolah, menjauh dari pesta yang tengah berlangsung. Kalau aku tidak salah ingat, kau baru putus dari pacarmu karena dia selingkuh dengan wanita lain. Betapa bodohnya dia, meninggalkanmu hanya karena kau lebih suka duduk di pantai sambil menunggu matahari terbenam dibandingkan menghabiskan malam di diskotik.
Aku tidak tahan melihatmu bersedih, penghargaan sebagai murid dengan nilai ujian nasional tertinggi rasanya tidak begitu penting untukku waktu itu. Yang aku inginkan, adalah meninju pria bodoh itu, dan membuatnya merasakan sakit yang kau rasakan. Namun aku mengurungkan niatku, dan menyadari bahwa walau pun aku melakukan hal itu, tidak akan berarti banyak. Yang penting, aku harus membuatmu tenang. Dan disana, dengan kurang ajar, aku mengecup keningmu. Mencari kesempatan untuk memuaskan diri sendiri disaat kau terluka. Aku sudah siap menerima tamparanmu waktu itu, namun kau tidak melakukan apa pun selain tertunduk. Apa kau malu? Atau semarah itukah kau sampai-sampai tidak sanggup berkata apa-apa?
Setelah kejadian itu, aku kira kau tidak mau berteman denganku lagi. Namun kau sering mengirimku surat bahkan sampai mengirimkan berbagai macam makanan. Liburan semester pertama kau tidak bisa kembali, jadi kau merayakan tahun baru di sana dengan teman-temanmu. Dan saat itu, kau bertemu dengan seorang pria ketika pergi mengunjungi kuil.
Rasa takut itu kembali, aku takut kau akan mengalami nasib yang sama dengan pria itu. Namun nampaknya dia pria baik-baik, tiga temanmu menjaminnya. Aku tidak punya pilihan lain, mau tidak mau aku harus percaya dan hanya bisa mengandalkan mereka untuk menjagamu.
Dalam suratmu yang terbaru, kau mengatakan kalau kau bodoh karena percaya dengan pria itu begitu saja. Lagi-lagi kau disakiti oleh seorang pria, dan aku tidak bisa menolongmu. Aku merindukanmu, senyuman juga kenyamanan yang kau berikan. Begitu tulismu sebagai penutup surat, juga berserta kabar kalau kau akan kembali ke tanah air akhir tahun nanti. Apa maksudmu?
Baru kali ini aku menunggu datangnya tahun baru. Kau datang tiga minggu sebelum tahun baru, sebab ada hal yang harus kau urus terlebih dahulu. Negeri orang telah mengubahmu, atau kau sendiri yang melakukannya? Kau terlihat lebih cantik dari yang dulu, namun sedikit lebih berani dari yang dulu. Untungnya keberanianmu masih dalam tahap kewajaran, rasanya. Sungguh menyenangkan bisa melihat senyum indahmu lagi, mendengar tawamu, dan berada di dekatmu lagi.
Malam tahun baru, aku tidak mengira kalau kau akan mengajakku untuk melewatinya di halaman belakang SMA kita. Sebetulnya memang ada pesta di sana, tapi aku tidak mengira kalau kau mau ke sini. Semua orang langsung menatapmu begitu kau tiba, sang primadona masih belum terkalahkan.
Dua jam sebelum tengah malam, kita masih membicarakan kehidupan terpisah kita selama setahun. Entah siapa yang memulainya, percakapan tiba-tiba mengarah ke waktu itu. Ketika aku mengecup keningmu di sini. Pipiku langsung memerah bukan main, dengan cepat aku berusaha mengalihkan pembicaraan, namun kau besikeras untuk membahas masalah itu. Alhasil, aku terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab. Aku mengatakan semua yang selama ini aku pendam. Entah apakah sekarang waktu yang tepat atau tidak untuk mengatakannya atau bukan, aku sudah tidak peduli lagi. Aku tidak mau menunggu lebih lama lagi. Aku takut, kita mungkin tidak bisa bertemu lagi dalam waktu dekat, atau yang terparah, ketika kita berjumpa, kau sudah menjadi milik orang lain.
Aku ingin memilikimu, namun waktu tidak pernah memberiku kesempatan untuk melakukannya. Dan aku masih pengecut waktu itu, tidak memiliki sedikit keberanian untuk menyatakan perasaan ini. Jadi selama aku belum bisa memilikimu, aku ingin melindungimu sebisaku.
Pipimu juga ikut memerah, bahkan sampai ke telinga. Dan hal itu terjadi, sebuah tamparan yang tertunda selama setahun. Aku sempat bingung, kenapa kau menamparku? Apa karena ucapanku? Apakah pujianku terhadap dirimu terlalu berlebihan sehingga membuatmu muak? Kau menamparku, sambil menangis. Apa yang salah?
Beberapa menit kemudian, kau tertawa pelan. Aku semakin bingung. Dengan lembutkau mengecup pipi yang masih merah dan sakit itu. Kemudian marah karena aku terlambat menyatakan perasaanku. Padahal kau memiliki perasaan yang sama. Sungguh? Aku tidak tahu kalau kau memiliki perasaan yang sama. Kau terluka karena aku terlalu lama berdiam diri, menunggu waktu yang tepat untuk menyatakan perasaan dan mengumpulkan keberanian untuk hal itu. Awalnya kau marah, namun pada akhirnya kau berterima kasih, karena kau jadi tahu lebih banyak mengenai sifat-sifat pria.
Apa ini artinya kau sudah menjadi milikku? Apa kau menerima perasaanku? Mungkin jawabannya ada dibalik kecupan mesra yang kita lakukan tepat disaat tengah malam. Terkadang, kita memang harus menunggu waktu yang tepat untuk menyatakan cinta kepada dia yang terkasih. Dan terkadang kita harus terluka terlebih dulu sebelum bisa bahagia.
== END ==
0 Response to "Waktu Yang Tepat"
Posting Komentar