Suhu di Taman Hidup tidak sedingin Ranu Kumbolo Semeru. Meskipun tidak sedingin Ranu Kumbolo, Cuaca di ketinggian seperti ini membuat mata rasanya ingin selalu terpejam dan membuat teman-temanku memilih langsung istirahat. Setelah ngobrol sebentar sehabis makan malam mereka masuk ke tenda masing-masing sesudah mengambil sleepingbag dari dalam tendaku.
“Aku masih penasaran sama kamu.” Kata perempuan itu.
“Penasaran kenapa?” Tanyaku
“Meskipun kamu bilang gak suka mendaki, tapi buktinya kamu sering mendaki. Itu gak bisa dipungkiri.”
“Aku sadar kalau alam, khususnya hutan memiliki energi yang luar biasa. Sebagian manusia menyatakan bahwa dalam hutan itu yang berlaku adalah hukum rimba, yaitu yang kuat akan menang dan yang lemah pasti kalah. Secara kasat mata memang seperti itu. Tapi, jangan lantas hal itu dianggap tidak baik. Justru di alam inilah hukum Tuhan berlaku, yaitu keseimbangan. Hewan apapun saja, hanya mengkonsumsi kebutuhan perutnya saat ini juga, tidak untuk besok atau lusa karena hewan sudah sejalan dengan kehendak Tuhan.”
“Lantas?”
“Di hutan ini tidak ada nilai negatif. Tidak ada ceritanya batang iri pada daun atau akar dengki sama bunga karena mereka hidup menjadi dirinya sendiri. Pendakian ini menjadikan aku bisa menyerap seluruh energi dan nilai positif itu. Sesampainya di kehidupan sehari-hari, nilai yang diajari oleh kehidupan pendakian yang menuntun aku untuk mengasihi diri sendiri dan orang lain.
“Apa yang kamu cari dalam perjalanan seperti ini”?
“Pada awalnya aku mencari suatu hal yang membuatku puas.”
“Terus, akhirnya?”
“Sampai sekarang aku tidak pernah merasakan kepuasan yang selama ini aku cari.”
“Kenapa begitu?”
“Setelah sekian lama aku berjalan, aku menyadari suatu hal.”
“Apa itu?”
“Aku harus berhenti mencari.”
“Kalau memang memutuskan untuk berhenti, kenapa terus melakukan perjalanan seperti ini?”
“ITULAH BEDANYA ESENSI DAN EKSISTENSI. AKU MEMUTUSKAN UNTUK BERHENTI MENCARI KEPUASAN DALAM PERJALANANKU KARENA SETELAH AKU SADARI, KEPUASAN TIDAK AKAN PERNAH TERCAPAI. KEPUASAN TANPA DIDASARI KESADARAN SETELAH MENCAPAI PUNCAK ATAU MELIHAT KEINDAHAN DARI KETINGGIAN, HANYA MEMPERBESAR EGO DALAM DIRI DAN SEMUA ITU AKAN MERENDAHKAN NILAI-NILAI LAIN YANG ADA DALAM DIRI INI.”
“Maksudnya?”
“Aku menyadari berlakunya teori pasang surut antara eksistensi diri dengan esensi diri. Apabila eksistensi dalam diri dominan, maka esensi dalam diri ini akan minimal, bahkan meniada. Kalau yang terjadi seperti itu dan tidak aku sadari, maka aku akan terus melukai diriku sendiri. Makanya, aku sangat beruntung memiliki keluarga yang selalu mengingatkan, guru-guru yang luar biasa baik yang pernah bertemu atau yang belum bertemu, teman-teman yang selama ini menemani perjalananku.”
“Apa yang kamu rasakan setelah menyadari semua itu?”
“Aku mengubah sudut pandangku terhadap apa yang aku lakukan. Awalnya aku mencari kepuasan, aku ubah dan memutuskan untuk diperjalankan.”
“Apa bedanya, bukannya sama saja di mata banyak orang?”
“Ketika aku memutuskan untuk berubah, semua akan berubah, itu pasti. Hanya, seberapa besar dampak perubahannya bisa diukur dari seberapa besar keyakinan dalam mengambil keputusan untuk berubah dan semua itu butuh proses yang berwaktu. Hanya saja, perubahannya saat ini belum sampai pada penglihatan banyak orang.”
“Sederhananya?”
“Perubahan sudut pandangku pasti diikuti perubahan rasa dalam diriku. Kalau awalnya berambisi untuk selalu berjalan menikmati keindahan itu dan selalu menggebu-gebu, sekarang lebih pada memasrahkan diri terhadap situasi yang ada.”
“Contohnya?”
“Dulu, ketika berada di puncak dalam keadaan gelap karena kabut atau ketika sampai puncak banyak orang, aku sangat kecewa. Kemauanku saat itu adalah cuaca cerah sehingga bisa melihat apa yang sesuai aku harapkan dan dalam keadaan sepi biar puas foto-foto.”
“Terus?”
“Aku sekarang tidak begitu, melainkan belajar merima semua apapun yang harus aku jalani. Sesuai atau tidak dengan harapanku, aku berusaha menerima.”
“Hasilnya?”
“Saat aku mengharapkan sesuatu, aku hanya fokus pada apa yang aku harapkan dan menutup samudera kemungkinan yang Tuhan sediakan di depanku. Saat aku memasrahkan diri, aku merasa menemukan esensi dari setiap yang aku lihat. Bukankah kabut tebal, angin kencang, badai, dan fenomena alam lainnya juga menyimpan keajaiban-keajaiban Tuhan? Hanya saja, selama ini, keajaiban Tuhan hanya aku simpan pada fenomena yang enak-enak dan sesuai dengan haparanku saja. Aku hanya bersyukur terhadap keindahan, kecerahan, kesejukan dan fenomena enak lainnya. Yang lain tidak”.
“Bisa kasih contoh yang lain?”
“Sama halnya dengan jodoh. Kalau aku berambisi pada satu orang dan mau tidak mau harus jadi dengan orang yang aku kehendaki. Itu kan namanya memaksakan kehendak. Saat aku memaksakan kehendak, saat itu pula aku secara otomatis tidak ridha terhadap ketetapan-Nya. Padahal, selama ini aku berdoa meminta ridha Tuhan dan ternyata aku sendiri tidak pernah ridha dalam ketetapan-Nya. Makanya, yang harus aku sadari adalah realita dalam dimensi lain, bahwa Tuhan menyediakan orang luar biasa dalam samudera kemungkinan-Nya yang bisa berjodoh denganku dan bisa saja memiliki sifat mulia seperti Muhammad SAW., Gandhi, Khadijah, Aisyah, dan orang luar biasa lainnya. Dengan begitu, aku tetap memiliki keinginan, tapi apapun yang terjadi tidak akan membuat aku labil dalam menjalani hidup. Itulah yang dinamakan diperjalankan.”
Malam semakin larut dengan bunyi belalang dari sekitar danau Taman Hidup. Obrolan kami semakin masuk dalam pembahasan perihal menyelam pada kedalaman diri dan akupun menyudahi obrolan karena besok harus melanjutkan perjalanan.
“Malam sudah larut, sebaiknya kamu istirahat agar besok segar dan bisa menikmati suasana pagi di Taman Hidup ini.” Kataku
“Iya, tapi aku takut. Aku tidur di tenda kamu ya?” Rengeknya.
“Iya.”
***
Kabut mulai berdatangan menutupi cahaya pagi yang menggelap. Suhu dingin menyerang pori-pori disertai gemerisik angin menggelayut. Aura mistis yang selama ini hanya aku dengar lewat cerita, sekarang benar-benar aku rasakan. Kabut itu datang sesaat setelah ada cewek di tenda sebelah berteriak histeris. Entah sebab apa cewek itu berteriak histeris. Kabut mengepung danau dan semakin mendekat ke area tenda para pendaki. Teman-teman yang masih lelap karena capek, terbangun oleh teriakan cewek sebelah. Pandangan mata semakin terbatas untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi. Aku yang sudah dari tadi bangun, bisa merasakan perubahan cuaca yang begitu cepat. Gelap dan mencekam menyelimuti danau Taman Hidup dan sekitarnya, termasuk area tempat tenda para pendaki.
Cukup lama kabut itu berputar-putar di sekitar area tenda. Perputaran kabut itu terasa dari bunyi yang terdengar karena menerpa tenda. Teriakan cewek itu seolah menjadi panggilan yang diiringi oleh keluarnya kabut. Setelah sekian lama berputar-putar seperti mencari sesuatu, akhirnya kabut itu menghilang tertiup angin. Kejadian yang cukup lama itu membuat semua pendaki diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Seiring dengan menghilangnya kabut, situasi sudah kembali seperti biasa dan cuaca mulai cerah, para pendaki keluar untuk mencari tahu apa yang terjadi.
Perempuan itu bangun sambil memegangi tangannya yang masih terlihat bengkak karena jatuh tadi malam. Aku membuka pintu tenda dan mulai melihat situasi di sekitar.
“Ada apa?” Tanya teman setelah membuka separuh pintu tenda.
“Ada cewek teriak histeris.” Jawabku.
“Kenapa?”
“Gak tahu.”
Aku memberanikan diri untuk menghampiri tenda yang sudah banyak dikelilingi pendaki yang mencari tahu alasan cewek itu berteriak.
“Dikompres saja.” Ujar salah satu pendaki yang terlihat senior.
“Iya, Bang.” Jawab cewek yang duduk di samping cewek yang berbaring.
SITUASI MENCEKAM BERPINDAH PADA PIKIRAN MASING-MASING KEPALA PARA PENDAKI. FENOMENA MUNCULNYA KABUT YANG SECARA TIBA-TIBA ITU MENJADI PEMBICARAAN DI SETIAP TENDA, TERMASUK TEMAN-TEMANKU YANG DARI TADI AKU LARANG UNTUK KELUAR DARI TENDA. SAAT AKU KEMBALI MASUK KE TENDA, MEREKA IKUT MASUK KE TENDAKU UNTUK MENCARI TAHU APA SEBENARNYA TERJADI.
“Gak ada apa-apa. Gak usah dipikirkan. Alam gak pernah salah. Alam hanya merespon terhadap hal yang membuat keadaan tidak imbang. Kita masak saja sekarang.” Aku berusaha menjelaskan.
Pikiranku sendiri sedang sibuk mencoba mengingat-ngingat cerita tentang Taman Hidup. Meskipun tidak banyak tahu, aku meyakini ada kaitannya antara teriakan cewek itu dengan datangnya kabut. Namun, untuk menjaga ketenangan situasi antara aku dan teman-teman, aku berusaha bersikap wajar seolah tidak memikirkan sesuatu.
Nasi dan lauk sudah masak dan siap untuk dimakan. Setelah selasai makan temanku mengajak foto bareng di Danau Hidup. Meskipun awalnya ada penolakan dari sebagian mereka, tapi akhirnya mau setelah aku meyakinkan bahwa tidak akan ada apa-apa.
“Bagaimana tanganmu?” Tanyaku
“Sudah gak terlalu sakit’.” Jawab perempuan itu.
“Ko’ masih terlihat bengkak?”
“Iya, tapi sudah gak sakit seperti tadi malam.” Jawab perempuan itu sambil menekuk-nekuk pergelangan tangannya yang masih bengkak.
“Kalau begitu, bisa makan sendiri kan?”
“Yakin gak mau nyuapin aku lagi?”
“Kan kamu sudah bisa sendiri?
“Seharusnya kamu beruntung, dari sekian banyak cowok yang naksir aku. Hanya, kamu yang bisa nyuapin dan bisa tidur satu tenda denganku”
“Heheheheee”
“Kenapa tertawa?”
“Hebat ya, kamu banyak fansnya?”
“Hahahahahaaa. Iya dong.”
“Tapi, maaf. Aku gak akan ikut memperebutkan kamu.”
“Ko’ gitu sih?”
“Aku memilih menunggumu di tempat yang sudah aku tentukan tanpa seorangpun tahu dan yang pasti saat itu kamu sudah tidak lagi menjadi rebutan.”
“Aku memilih menunggumu di tempat yang sudah aku tentukan tanpa seorangpun tahu dan yang pasti saat itu kamu sudah tidak lagi menjadi rebutan.”
0 Response to "Misteri Kabut Taman Hidup"
Posting Komentar