Antara Tisu dan Mantan



Bibir perempuan itu masih mengkilap dengan lemak setelah menghabiskan satu porsi mie ayam ceker. Buliran keringat membasahi dahinya yang ditumbuhi rambut halus.
“Gimana?” Tanyaku. “Enaaaakkk” jawabnya sambil ngacungin jempol. “Kapan-kapan ajak aku kuliner lagi ya. Bosen di kos terus”. “Iya”.
Sejak datang, kedai ini sudah ramai karena menjadi kedai favorit. Kedai didesain dengan konsep tradisional yang mengusung tema hidup itu menghidupi. Kedai ini tidak cukup disebut kedai karena lengkap dengan perpustakaan dan ruang baca, butik, ruang untuk pentas seni dan musik. Meskipun tempatnya tidak seberapa luas, namun penataannya cukup membuat tempat ini menjadi tempat favorit. Foto-foto seniman, pahlawan, dan para aktivis berjejer di setiap dinding membuat aura optimis mengaliri setiap pengunjung.
“Sejak kapan kamu menjadikan ini tempat favorit?” “Bukan tempat favorit, hanya saja daripada tempat lain, kedai ini memberikan asupan yang sehat-sehat. Mulai dari menu yang disajikan, kegiatan yang dijadwalkan, dan buku-buku yang disediakan”.
Sepintas aku lirik perempuan itu melihatku tak berkedip. Perempuan dengan rambut hitam bergelombang memanjang sampai bawah bahu. Baju yang dipakai kotak-kotak lengan panjang digulung sepertiga memperlihatkan bulu halus lengannya dengan jam tangan dan beberapa gelang khas anak kekinian dipadu dengan celana banyak saku, sepatu sport semakin menegaskan sebagai perempuan pecinta alam.
Sedari tadi aku perhatikan perempuan ini mengusap keringat yang membasahi dahi dan hidungnya dengan tisu karena cuaca Surabaya akhir-akhir ini panas menyengat. Tisu di meja habis dan merasa kurang dia mengeluarkan tisu dari tasnya.
“Aku dari tadi menghabiskan hampir dua bungkus tisu lho dan aku lihat kamu gak pakai tisu sama sekali?” Tanya perempuan itu. “Aku besar di Madura. Kebiasaan di sana setelah cuci tangan selesai makan cukup diusapkan ke kaki, biar bulu betis tumbuh subur. Kalau lagi berkeringat cukup diusap sambil memperbaiki rambut, sekalian jadi minyak rambut”.
Sekian lama dalam hidup, aku lakukan itu tanpa pertanyaan dan kesadaran diri terhadap apa yang aku lakukan. Aku melakukan itu berdasarkan rasa percayaku terhadap orang-orang tua yang sudah memiliki pengalaman hidup lebih daripada kita, tidak lebih. Namun, sekarang aku baru menyadari bahwa ajaran itu sangat luar biasa dan membuat aku semakin bangga memiliki leluhur seperti mereka.
TAHUKAH KAMU BAHWA 1 POHON BERUMUR 6 TAHUN HANYA BISA MENGHASILKAN 40 LEMBAR TISU. SEMENTARA, SATU POHON ITU BISA MENGHASILKAN OKSIGEN UNTUK MENGHIDUPI 3 ORANG. TANPA POHON, KITA SEMUA AKAN HIDUP DALAM KEPANASAN YANG LUAR BIASA SEPERTI CUACA HARI INI.
Jadi, Semakin kita banyak menggunakan tisu, semakin banyak pula kita menebang pohon. Semakin banyak pohon yang ditebang, maka akan semakin panas cuaca di bumi ini.
“Trus kalau tidak dengan tisu, mau diusap dengan apa?” Tanya perempuan itu tidak terima. “Mana aku tahu” jawabku sambil ketawa ngeledek.
Muka perempuan itu mulai cemberut. Marahnya remaja kekinian memang mudah ditebak. Permasalahannya bukan apa yang akan jadi pengganti tisu sebagai alat usap. Akar masalahnya ada dalam diri yang sudah merasa enak dengan hal-hal yang praktis. Didukung dengan gengsi yang melangit. Disetiap aspek kehidupan kita sudah tidak mengetahui batas dan celakanya kita sudah melampui batas.
“Maksudnya?” “Katanya pecinta alam. Kalimat dari orang kayak aku saja gak ngerti, apalagi yang disampaikan alam?” “Apa? Coba jelasin!”. Perempuan itu mendesak sambil mencubit lengan kiriku.
Reflek, aku berteriak karena cubitan itu dan membuat pengunjung yang lain menoleh. Omonganku semakin tidak bisa diterima oleh perempuan itu. Semakin aku ngomong semakin banyak bantahan. Semakin lama aku ngobrol semakin nampak perempuan kekinian ini hidup di tengah arus ketidakpahaman akan kondisi. Menjalani hidup agar terkesan baik oleh orang lain. Bukan baik itu sendiri yang ditempuh sebagai jalan hidup. Secara sederhana saja dalam menjalani hidup sudah tidak mampu, namun yang dipilih malah yang rumit.
Secara sepintas menggunakan tisu tidak mengandung tanggung jawab moral dan sosial, membeli dengan uang sendiri dan setelah menggunakan tinggal dibuang dan selesai. Namun, apabila direnungi lebih jauh, tanggung jawab menggunakan tisu lebih berat daripada menggunakan sapu tangan.
KETIKA MEMILIH MENGGUNAKAN TISU, SECARA OTOMATIS AKAN MEMPERBANYAK SAMPAH. MENAMBAH BEBAN PETUGAS KEBERSIHAN YANG SUDAH DINILAI BERDERAJAT RENDAH. PADAHAL DERAJAT ITU SEJALAN DENGAN KEBERMANFAATAN DIRI TERHADAP LINGKUNGAN SEKITAR. BUKAN PADA LEBIH PINTAR MENILAI.
“Masa’ iya aku harus mengusap keringat dengan sapu tangan?” “Tuh kan, gengsinya muncul”. “Bukan gengsi, tapi ribet tau’. Lagian gak steril kalau pakai sapu tangan. Banyak debu yang nempel”. “Emang kalo pakai tisu steril?” “Iya, paling tidak karena sekali pakai terus dibuang”.
Ah, kamu. Maunya sekali pakai terus buang. Kayak mantan saja.

0 Response to "Antara Tisu dan Mantan"

Posting Komentar