Gubuk Itu Surgaku



“Ibu, jangan membenci aku ya!”
Di depan gerbang sekolah, kulihat anak-anak seusiaku berseragam rapi putih merah, tawa mereka saat bermain di taman, entah kenapa hatiku tersayat perlahan, aku iri, air mataku tak tertahan lagi. Tanpa sadar telingaku ditarik oleh tangan besar dan kasar, aku terseret.
“Aawww….” aku merengek kesakitan, daun telingaku ditarik oleh tubuh kekar, bertopi hitam, baju putih, celana hitam, menyeramkan.
“Hei, anak pengemis! Di sini bukan tempat anak sepertimu, sana pergi!”
Bukan pertama kalinya tragedi ini terjadi padaku, aku bukan yang dulu, sekarang aku sudah kuat, kuat menanggung malu. Pakaianku yang kumuh, robek-robek lagi, tubuhku nan jarang tersentuh air bersih, bau tak enak itulah parfum keseharianku, sangat patut ketika aku hendak menghampiri anak-anak seumuranku, mereka bergegas pergi dengan tangan menutup hidung.
Di pinggir rel kereta api, gubuk kecil yang jauh dari keramaian, di depannya terhampar luas sawah nan permai. Di dalamnya, ibuku terbaring sakit, kulitnya pucat, rambutnya mulai memutih diwarnai umur yang sudah menua. Melihatnya yang begitu lemas, aku merasa bersalah, dan sangat bersalah, namun aku masih senang, ibuku tak bekerja lagi menghinakan diri seperti yang dulu.
Aku tak begitu ingat, berapa usiaku waktu itu. Setiap kali mentari mulai menampakkan sinarnya dari ufuk timur, ibuku akan mengajakku menyusuri rel ke arah barat, setibanya di jalan raya, kami memasuki setiap gang lalu dengan wajah memelas meminta uang pada setiap rumah yang sekiranya terdapat orang di dalamnya dan ini menjadi kebiasaan kami di setiap hari, berpindah-pindah gang, acapkali pula kami ditegur.
“Lha, tadi udah kan Buk?” Ibuku tertunduk malu, tak terkecuali aku.
Tak kuat lagi rasanya aku melihat pekerjaan kami yang seperti itu, aku tak tega melihat ibuku selalu menghinakan diri, aku hendak memberanikan diri bertanya.
“Ibu, mengapa kita selalu meminta-minta uang pada orang?”
Mendengarnya, ibuku langsung lunglai merebahkan diri pada hamparan kardus, matanya sembab, sesak nafasnya terdengar, aku pun bergegas mengambil sebotol air.
“Uwaaah, dasar anak durhaka kamu ya,” botol yang aku berikan dihempas oleh tangannya.
“Aku sudah rela-rela memungutmu dari pinggir sawah itu, masih pula kamu mempertanyakan pekerjaan ini, kalau kamu tak mau, pergi sana! Dasar anak tak tahu balas budi!” suara ibu melengking tajam menusuk ke dalam telingaku, aku langsung bersimpuh di kaki ibu.
“Maaf, maafkan aku Ibu, Ibu boleh memukulku, menggantungku, tapi jangan usir aku, Ibu! Aku tak punya siapa-siapa lagi selain Ibu,” tangisku pecah di kakinya. Betapa tidak, belum aku membalas kebaikan ibu selama ini yang telah rela menjadikan anak haram ini sebagai anaknya. Bagaimana aku berani meninggalkan ibu seorang diri di gubuk kecil ini.
“Tidak anakku, tidak. Kamu tetaplah anakku. Namun, seperti kita ini mau bekerja apa lagi selain mengemis?” ibuku duduk sembari memelukku manja. Hangat punggungku dibasahi air matanya yang mulai meleleh.
“Kan, ada anakmu ini, Ibu,” aku usap air mata ibu.
“Mulai sekarang, ibu istirahat saja di gubuk ini, menjaga harta kita satu-satunya, anakmu yang akan mencari uang,” dengan suara yang tegas kuterbangkan dari mulutku.
“Tapi Nak, mau bekerja apa kamu?” merasa khawatir.
“Ibu tenang saja, anakmu tak akan mencuri kok, apalagi meninggalkan Ibu, kabur dari gubuk yang telah aku anggap surga ini. Tapi, Ibu jaga diri baik-baik ya, selagi anakmu keluar.” Tak dapat dielakkan lagi, ibuku menangis, mendekapku erat seperti tak mau lepas.
“Hati-hati anakku!”
Lampu lalu lintas di pertigaan jalan, tempat aku mencari uang. Setiap kali lampu merah menyala, aku bergegas ke tengah jalan, bermodalkan kain tipis aku membersihkan kaca depan mobil-mobil. Dengan itu, dari dalam mobil akan melemparkan uang, lima ratus, seribu sampai dua ribu rupiah, meski tak semuanya akan memberi.
Seperti biasa, kalau sinar pagi sudah menyapa bumi, aku akan minta izin ibuku untuk pergi bekerja. Sekitar pukul sepuluh pagi aku sudah pulang, biasanya aku mendapatkan uang tiga puluh lima ribu. Sebelum sampai rumah aku hendak ke warung untuk membeli nasi tiga bungkus, ini cukup sehari semalam buatku dan ibuku, sebungkus dimakan berdua, sisa uangnya kuberikan semua pada ibuku.
“Ibu, jangan membenci aku ya! Aku takut masuk neraka Ibu.”
“Kenapa Ibu harus membenci anak Ibu satu-satunya?” sambil mengusar-usar rambutku, lalu mengecup keningku.
“Soalnya, kata guruku surga itu ada di telapak kaki Ibu, kalau Ibu sampai marah, nerakalah tempat anaknya, aku takut Ibu.”
“Hahaha… siapa gurumu, Nak?” pipi keriputnya yang mulai merekah, membuat hatiku berbunga, lantas aku pun semangat menceritakan tentang guruku.
Pukul sembilan pagi, setelah mendapatkan uang yang cukup, aku mendatangi tempat favoritku, pohon belakang sekolah. Seharusnya aku harus berterima kasih pada satpam yang menyeramkan itu, karena selalu mengusirku bilamana ada di depan gerbang. Berkatnya, aku menemukan guruku, meski dia tidak tahu. Setelah terusir, tak jauh dari lokasi, aku berpindah ke belakang sekolah, di sana aku menyimak pelajaran demi pelajaran, menikmatinya dari atas pohon yang agak tinggi merindang ke pagar tembok sekolah.
Tidak tahu kenapa, ibuku menunduk bersedih seusai aku bercerita.
“MAAFKAN IBU! IBU TAK BISA MENYEKOLAHKANMU, NAK.”
“Kenapa Ibu berkata seperti itu? Kenapa Ibu menangis? Aku tak ingin menyusahkan Ibu lagi, aku hanya ingin restu Ibu selalu menyertai di setiap langkah Anakmu ini.”
Semakin menjadi-jadi saja tangis ibuku, aku tambah kebingungan. Dipeluknya hangat tubuhku, lama, lama dan lama, sembari berkata.
“ANAKKU, IBU SELALU MERESTUIMU, DAN SEMOGA DOA IBU DIKABULKAN OLEH TUHAN, NAK.”

0 Response to "Gubuk Itu Surgaku"

Posting Komentar