“Ke mana semua pakaianku?”
Fabrian Wicaksana melongo heran memandang setumpuk pakaian wanita di atas tempat tidurnya, saat ia hendak mengeluarkan pakaian kotor dari dalam koper. Wow! Hebat. Semua pakaiannya berubah bentuk menjadi pakaian wanita dalam sekejap. Menakjubkan!
Ia terkekeh geli, setengah percaya, setengah tidak. Bagaimana bisa laki-laki yang begitu teliti dalam segala hal seperti dirinya tidak bisa mengenali kopernya dengan baik. Padahal, sudah jelas di koper itu ada tanda pengenal yang bukan miliknya. Astaga… ini memalukan.
Fabrian menggeleng-gelengkan kepala, menatap tanda pengenal itu singkat, lalu meraih ponselnya, menekan beberapa nomor dan menempelkannya ke telinga kiri. Telepon diangkat setelah dering ketiga.
“Halo?”
Senyum Fabrian mengembang tipis saat mendengar suara lembut di ujung sana.
“Halo, siapa ini? Apakah mungkin kau pemilik koper yang saat ini ada padaku?”
“Tepatnya aku adalah pemilik koper yang tadi sore kopernya kau tabrak hingga kau terjatuh,” sahut Fabrian, masih mengembangkan senyum. “Dan kau pasti adalah gadis bermasker yang menolak bantuanku untuk membantumu berdiri, dan malah pergi begitu saja tanpa menghiraukan permintaan maafku!”
Gadis di ujung sana tertawa. “Tepat sekali, Fabrian Wicaksana,” sahutnya, dengan nada suara bersahabat. “Maaf, tadi sore aku buru-buru. Lagi pula, kau bisa bayangkan betapa malunya aku jatuh tersungkur di lantai setelah tanpa sengaja menabrak kopermu seperti itu. Itu benar-benar memalukan.”
“Kalau begitu, izinkan aku mewakili koperku meminta maaf padamu….” Fabrian berhenti sejenak, menyentuh tanda pengenal itu dan mengeja nama yang tertulis di sana. “Amira Natassa.”
“Tidak masalah, Fabrian.”
Senyum Fabrian mengembang makin lebar. Ia menyukai cara gadis itu menyebut namanya. Namun, ketika pikiran itu melintas dalam benaknya, tubuhnya pun membeku. Jari-jarinya yang memegang ponsel bergetar. Suara ini… begitu familiar di telinganya.
“Fabrian?”
Fabrian tidak menjawab. Ia masih sibuk dengan pikirannya.
“Fabrian?” panggil Amira lagi dengan suara lebih keras.
“Ya, Mira?” sahut Fabrian tergagap, setelah berhasil mengendalikan diri.
“Aku butuh koperku sekarang. Kau di mana? Aku akan mengantarkan koper-mu.”
“Tidak usah, tidak usah,” Fabrian menjawab cepat, sangat cepat. “Biar aku saja yang menemuimu. Beri tahu aku di mana alamatmu!”
“Oh, baiklah. Akan kukirimkan melalui SMS.”
Setelah mematikan telepon, Fabrian sempat tertegun beberapa saat sebelum kesadaran kembali menariknya ke dunia nyata. Ia mendesah, mengusap wajahnya sambil menggeleng-gelengkan kepala, lalu segera meraih kunci mobilnya dari atas nakas putih di samping tempat tidur. Walaupun ia berusaha mengabaikan pikirannya, Fabrian tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa suara itu menerbitkan kembali semua ingatan yang sudah ia pendam dalam-dalam.
TIBA-TIBA SAJA Fabrian jatuh cinta lagi. Debar jantungnya yang begitu aneh tak bisa dihindari saat ia bertemu Amira Natassa untuk kesekian kali. Gadis cantik berpotongan tubuh semampai, berwajah tirus dengan hidung mancung dan berambut panjang itu, sudah berhasil mencuri perhatiannya hanya dalam hitungan hari. Perasaannya mendadak aneh. Hatinya selalu menghangat tanpa alasan.
Semudah inikah hatinya berpaling?
Fabrian memang bukan tipe laki-laki yang mudah jatuh cinta. Sepanjang dua puluh delapan tahun hidupnya, ia hanya pernah mencintai satu wanita. Ia tak pernah membuka hati untuk wanita lain, sekalipun ia ingin. Kejadian tiga tahun lalu cukup membuatnya berpikir bahwa ia tidak ingin jatuh cinta lagi. Bagaimanapun, cinta tak akan pernah membahagiakan.
Namun, setelah bertemu Amira Natassa, pemikiran itu menguap begitu saja. Pemilik mata sayu itu, dengan senyum menularnya yang begitu memesona, tiba-tiba saja membuat Fabrian kembali berharap. Mendadak ia punya harapan. Ia ingin menggantungkan hidup pada Amira, menitipkan segenggam hati kepadanya.
“Aku mencintaimu,” begitu ungkap Fabrian, ketika waktu bergulir makin jauh dan hubungan mereka makin dekat. Ia menelan ludah, merasakan tubuhnya yang seketika memanas, sementara kedua tangannya saling ditangkupkan, gugup, menunggu reaksi gadis dengan kardigan putih yang duduk di sampingnya.
“Aku juga mencintaimu.”
Kedua mata Fabrian melebar. “Sungguh? Kau tidak sedang bercanda, ‘kan?”
Amira mengangguk. “Mmm, sesederhana itu kau memenangkan hatiku, maka sesederhana itu pula aku ingin menganggapmu kekasihku,” jawabnya, lembut.
Udara malam taman itu terasa begitu sejuk menerpa wajah Fabrian. Ia tersenyum cerah, bahagia, lalu meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya.
“Tapi, hubungan yang kuinginkan bukan pacaran, Yan,” tambah Amira pelan, memandang ke jalan. “Di usiaku yang sekarang, aku tidak butuh seorang pacar. Yang kubutuhkan adalah seorang laki-laki yang berani menemui keluargaku untuk memantaskan diri menjadi suamiku. Kau mengerti maksudku, ‘kan?”
Senyum Fabrian merekah. “Harapanmu kukabulkan,” sahutnya tanpa ragu, lalu melepas cincin yang melingkari jari kelingkingnya. Ia kemudian berjongkok di depan Amira, menghela napas, berdeham, lalu berkata, “Amira Natassa, maukah kau menikah denganku?”
TIDAK PERLU waktu lama bagi Fabrian mewujudkan harapannya untuk hidup bersama Amira, karena gadis itu mengangguk tanpa ragu dan meminta Fabrian menyematkan cincin putih itu ke jari manisnya. Fabrian tersenyum bahagia, begitu juga Amira. Kedua orang tua mereka bahkan sudah sepakat menentukan tanggal pernikahan. Sebentar lagi, surga yang sudah ia idam-idamkan akan menjadi nyata.
Dekorasi megah ruangan dengan paduan warna putih, ungu muda dan tua di hadapannya membuat Fabrian tidak sabar menunggu Amira menghampirinya di meja penghulu di ujung ruangan. Hiruk pikuk para tamu undangan yang datang menambah ketidaksabarannya untuk segera mengucapkan ikrar pernikahan. Rasanya tak ada hari yang lebih membahagiakan bagi Fabrian selain bahwa hari ini ia akan segera mengakhiri status lajangnya dan menggantinya dengan status sebagai suami Amira.
Senyum lebar terus mengembang di wajahnya yang tampan. Hidungnya mancung sempurna. Rahangnya tegas dan kokoh. Kemaskulinannya makin terpancar dengan stelan tuksedo hitam yang ia kenakan. Fabrian tampak sempurna. Namun, kesempurnaan itu mendadak berangsur-angsur menghilang ketika Mia, kakak kandung perempuannya, menariknya dari kerumunan para tamu undangan ke ruang ganti.
“Mempelai wanita dan keluarganya tidak akan datang, Yan.”
Begitu mendengar ucapan Mia, jantung Fabrian mencelos. “Apa maksudmu dengan Mira dan keluarganya tidak akan datang?”
Mia mendesah keras. “Ini, lihatlah!” katanya menyodorkan ponsel Fabrian yang dipegangnya, lalu praktis menjambak rambut hitam sebahunya frustrasi. “Apa yang harus kita lakukan dengan para tamu undangan yang datang, Yan?”
Fabrian tidak mendengarkan. Ia mengatupkan rahang kuat-kuat, menatap nanar video yang muncul di layar ponsel. Video Amira yang merekam dirinya sendiri menelan kebahagiaan Fabrian saat itu juga. Ia terisak. Sebelah tangannya yang bebas membekap mulut, sementara tangan yang lain ia tekankan ke dada ketika video singkat itu selesai ia putar. Air matanya bergulir ke pipi. Bahunya berguncang tanpa bisa ia tahan.
Aku yakin sekarang kau pasti sangat bertanya-tanya kenapa aku tidak datang ke acara pernikahan kita? Sebenarnya sejak awal aku memang tidak pernah berniat untuk menikah denganmu ataupun menerima lamaranmu. Aku hanya berpura-pura mencintaimu dan membuat perasaanku terlihat nyata. Kau tahu kenapa aku melakukannya? Sakit kan, Yan? Karena itulah seharusnya dulu kau tidak melakukannya padaku.
Kau tentu masih ingat pada Rara Claudia yang dulu sangat mencintaimu. Rara Claudia yang memintamu bertanggung jawab pada bayi dalam kandungannya dengan memintamu datang ke gereja dan menikahinya. Akulah dia, Yan. Aku Rara Claudia. Gadis yang kau campakkan dengan sebuah surat yang kau titipkan kepada seorang anak untuk diberikan padaku yang sedang menunggumu di gereja. Bagaimana bisa kau memutuskanku begitu saja dengan mengatakan bahwa kau tidak mencintaiku dan tidak ingin menikahiku melalui sebuah surat. Oh, kau benar-benar berengsek.
Karenamu, aku harus melarikan diri dari gereja dengan pikiran kosong hingga mobil berkecepatan tinggi itu menabrakku saat aku ingin menyeberangi jalan. Aku kehilangan bayi dalam kandunganku karenamu. Aku bahkan harus menderita patah tulang dan merelakan wajahku dioperasi akibat kecelakaan itu. Menurutmu, setelah semua yang kaulakukan itu, apa kau pikir aku hanya akan diam? Tidak. Karena itulah, aku mengatur segalanya. Aku mengawasimu sudah sejak lama. Mengamati gerak-gerikmu demi mencari celah untuk masuk ke kehidupanmu lagi, hingga akhirnya tragedi koper itu adalah celah terbaik bagiku untuk bisa masuk ke hidupmu dan membalaskan dendamku padamu.
Dan sekarang, ketika tahu kau menderita, aku benar-benar puas. Aku senang melihatmu menderita.
“AMIRA!”
Napas Fabrian terengah-engah ketika ia meneriakkan nama itu. Ia menumpukan kedua telapak tangannya ke lutut, sementara pandangannya masih mengarah pada gadis bermantel merah dengan sebuah koper cokelat tua di samping kakinya di seberang jalan, memunggunginya. Setelah melihat video itu, Fabrian pun segera melacak keberadaan gadis itu melalui ponselnya dan langsung berlari sekuat tenaga mengejarnya.
Sepanjang perjalanan Fabrian berusaha menghubungi Amira, tapi teleponnya tidak diangkat. Ia bahkan sudah mengirimkan puluhan pesan panjang untuk menjelaskan segalanya, tapi tidak juga mendapatkan jawaban. Ia nyaris putus asa dan terlambat, kalau saja matanya tidak menangkap gadis itu keluar dari taksi di trotoar di dekat bandara di seberang jalan. Fabrian seketika menghentikan langkahnya yang terseok. Gadis yang berdiri memunggunginya itu sudah salah paham, begitu pula dengan dirinya. Ia harus menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi tiga tahun lalu.
Aku tidak pernah mencampakkanmu. Hari itu, ketika kau memintaku datang ke gereja untuk menikahimu karena bayi yang ada dalam kandunganmu, aku baru saja mendapatkan restu dari orang tuaku, meski mereka tahu keyakinan kita berbeda. Aku ingin mengajakmu menemui orang tuamu, agar aku bisa dengan resmi melamarmu.
Amira mengumpat keras ketika tanpa sengaja jarinya menyentuh layar ponsel dan membuka pesan yang laki-laki berengsek itu kirimkan. Sungguh, Amira tidak mau tahu. Setelah mengabaikan semua panggilan masuk dari laki-laki yang sama, ia pun ingin segera menghapus pesan itu ketika tiba-tiba jemarinya mendadak susah digerakkan. Ia menahan napas ketika mendapati matanya bergerak cepat menyusuri kata demi kata yang tertulis di sana.
Tapi, sepertinya aku datang terlambat. Ketika aku tiba di gereja, aku tidak menemukan siapa-siapa selain seorang pendeta dan sepucuk surat yang dia berikan kepadaku. Sepucuk surat yang dengan tegas mengatakan bahwa selama ini kau tak pernah mencintaiku dan tidak ingin menikah denganku.
Jujur saja, saat itu aku kecewa padamu. Kau pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa. Kau menghilang. Aku bahkan tidak bisa menghubungimu. Kukira kau memang sengaja menghindariku. Karena itu, seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai berusaha melupakanmu. Namun hari ini, setelah melihat video yang kau kirimkan padaku, aku segera tahu bahwa selama ini kita berdua sudah salah paham.
Demi Tuhan, Mira, aku tidak pernah mengirimkan surat itu padamu. Kau bisa ingat lagi apakah di surat itu tertulis namaku? Tidak ada, Mira. Walaupun memang aku tidak tahu bagaimana surat itu bisa sampai ke tanganmu, tapi sungguh bukan aku yang mengirimkannya.
Napas Amira tercekat. Mendadak ia merasa udara di dalam taksi berubah pengap. Ketidakpercayaan dan penolakan di dalam dirinya tentang penjelasan itu, membuatnya tidak bisa bernapas. Bayangan peristiwa menyakitkan di masa lalu, tiba-tiba saja menyakitinya. Kepalanya berdenyut ngilu. Ia butuh udara segar. Ketika taksi yang membawanya berhenti di lampu lalu lintas, Amira pun meminta turun di sana. Ia berdiri tegak di trotoar, menghirup udara dalam-dalam dan mengembuskannya dengan keras ketika ketika tiba-tiba suara itu membuatnya menegang.
“Amira…!!!”
Tubuh Amira membeku. Sejenak ia tertegun, namun dengan cepat berusaha menyadarkan diri dengan menggelengkan kepala keras-keras. Tidak. Apa pun yang ingin dikatakan laki-laki itu, Amira tak mau tahu. Akhirnya, setelah kembali menghela napas panjang, ia buru-buru ingin menghindar dari sana ketika bunyi klakson truk yang menggema nyaring dari arah belakang membuatnya berputar cepat, menoleh.
Saat itu, waktu seakan berhenti di sekitarnya. Saat matanya bertemu dengan mata hangat laki-laki yang berdiri memaku di tengah jalan dan sedang tersenyum padanya, Amira merasakan kedua lututnya lemas dan tiba-tiba saja ia jatuh terduduk di trotoar dengan air mata yang seketika mengalir.
Ketika waktu kembali bergerak normal, Amira menahan napas menyaksikan tubuh itu terpental jauh --diiringi bunyi berdecit nyaring gesekan antara ban dan aspal jalan-- hingga berguling-guling di aspal, lalu dalam sekejap tubuhnya yang terkulai lemah dilindas ban truk yang seketika berhenti.
Saat itu juga, ketika melihat darah mengalir di aspal jalan, Amira baru ingat bahwa saat itu --tiga tahun lalu-- ada mempelai pengantin perempuan lain yang sedang menunggu mempelai pria di gereja yang sama. Mungkinkah…? Surat yang membuatnya salah paham… ditujukan untuk wanita itu?
== Selesai ==
0 Response to "Cerpen - Kabut Masa Lalu"
Posting Komentar